Jumat, 03 April 2009

SISTEM PEMILU MASA ORDE BARU DAN MASA REFORMASI

AHMASD H SILABAN

Perbandingan sistem politik artinya membandingkan sistem politik antara dua negara atau antara dua rezim kepemimpinan. Banyak teori yang dapat kita gunakan untuk membandingkan sistem politik. Mulai dari teorinya David Easton, Gabriel Almond, Herbert Spiro, dan lainnya. Namun pada makalah ini, penulis tidak akan melihat semua teori tersebut. Tetapi hanya akan menggunakan satu teori saja, yaitu teori sistem politik yang diperkenalkan oleh Herbert Spiro.
Herbert Spiro (1962), berangkat dari formulasi awal sistem politik David Easton, memberikan satu skema komprehensif bagi perbandingan politik. Spiro mendefinisikan sistem politik sebagai sebuah komunitas yang memproses berbagai isu. Isu-isu yang berhubungan dengan permasalahan kebutuhan, dan tujuan yang mungkin mengandung konsensus atau perbedaan pendapat. Isu-isu ini dibangkitkan dan ditangani lewat ”arus kebijakan” dalam empat fase yaitu Formulasi, Deliberasi, Resolusi, dan Solusi.
Herbert Spiro dalam membandingkan suatu isu tentunya melihat empat hal yaitu Stabilitas, Fleksibilitas, Efisiensi, dan Efektivitasnya. Dalam makalah ini, penulis akan membahas masalah Pemilu. Penulis akan membandingkan sistem Pemilu pada masa orde baru dan pada masa reformasi. Tentunya penulis akan melihat perbandingan melalui keempat hal yang telah disebutkan diatas.

Orde Baru
Pemilu dilakukan setiap lima tahn sekali untuk memilih anggota legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden. Masyarakat bebas memilih partai yang disukainya yang ikut dalam pemilu. Pada masa itu masyarakat hanyalah memilih partai. Anggota legislatif ditentukan oleh pemerintah yang berkuasa (Soeharto) berdasarkan daftar yang diajukan oleh panitia yang ditunjuk oleh presiden. Pada masa itu, panitia yang bertugas mencari calon anggota legislatif ialah militer di setiap daerah. Daftar nama calon itu kemudian diserahkan kepada presiden.
Biasanya setiap masa pemilihan, presiden selalu menyeleksi anggota legislatif tersebut. Ketika itu Presiden Soeharto dalam menentukan anggota legislatif melihat semua golongan dan suku (meskipun tidak semua suku terwakili). Artinya anggota legislatif harus sudah mewakili semua golongan masyarakat. Misalnya golongan petani, buruh, cendikiawan, budayawan, dan lain sebagainya. Selain itu, Presiden Soeharto juga melihat suku. Angota legislatif selalu diupayakan mewakili semua suku yang ada di Indonesia, meskipun selalu diodominasi oleh suku jawa dan militer.
Untuk pemilihan presiden dilakukan oleh anggota DPR dan MPR. Anggota DPR dan MPR yang telah terpilihlah yang kemudian akan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Anggota DPR dan MPR yang awalnya dipilih oleh panitia (namun sekehendak presiden) merasa behutang budi kepada Presiden Soeharto. Hal tersebut menyebabkan anggota DPR dan MPR membalas budi dengan menetapkan Soeharto kembali menjadi Presiden. Sehingga selama orde baru Presiden dijabat oleh Soeharto dan sistem pemilihan brlangsung seperti itu selama 32 tahun masa orde baru.

Orde Reformasi
Pemilu juga masih diadakan setiap lima tahun sekali, seperti dimasa orde baru. Namun sistemnya sudah berbeda dengan sistem pemilu pada masa orde baru. Pada masa sekarang, pemilihan umum diadakan secara langsung. Dimana semua anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD) dipilih langsung oleh masyarakat, bukan lagi oleh panitia yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, presiden dan wakil presiden juga sudah dipilih secara langsung oleh masyarakat, bukan lagi oleh anggota DPR dan MPR.
Bukan hanya sistem pemilunya yang berbeda, tapi masa jabatannya jga sudah berubah. Jika pada masa orde baru, presiden bisa menjabat sampai 32 tahun, maka pada masa sekarang hanya dua periode (10 tahun). Jadi tidak akan ada lagi pemimpin seumur hidup di negeri ini.

Demikianlah perbedaan antara sistem pemilu pada masa orde baru dengan masa reformasi (sekarang). Perbedaan tersebut akan dikaitkan dengan teori Herbert Spiro tadi. Kita akan membandingkan kedua sistem tersebut dengan melihat keempat hal yang disebutkan tadi, yatiu Stabilitas, Fleksibilitas, Efisiensi, dan Efektivitasnya.

Stabilitas
Jika ditinjau dari segi stabilitas, maka penulis melihat bahwa pemilu pada masa orde baru lebih stabil dari masa sekarang. Pemilu sekarang kerap kali menimbulkan konflik antara pihak yang kalah dengan pihak yang menang. Sebab pihak yang kalah sering kali tidak mau menerima kelalahan dengan lapang dada. Selain itu hasil dari pemilihan juga tidak seperti dulu, khususnya legislatif. Jika dulu anggota legislatif mewakili semua golongan, maka sekarang belum tentu. Kebanyakan anggota legislatif adalah orang kaya dan pengusaha, karena orang miskin sulit untuk mencalonkan diri sebagai caleg. Sebab untuk masuk sebagai caleg, harus membayar mahal kepada partai.

Fleksibilitas
Pemilu pada masa orde baru lebih fleksibel daripada pemilu masa sekarang. Hal tersebut terjadi karena sistem pada amsa orde baru cenderung stagnan. Selain itu partainya juga hany itu saja. Jadi masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam mengenali partai. Berbeda dengan sekarang, pemilu diikuti oleh puluhan partai (tentunya kebanyakan adalah partai baru). Banyak masyarakat yang tidak mengenali partai baru tersebut, khususnya masyarakat pedesaan dan masyarakat yang berpendidikan rendah.


Efisiensi
Pemilu pada masa orde baru tidak memakan waktu yang banyak karena hanya satu kali saja. Sedangkan pada masa sekarang pemilu diadakan dalam dua tahap, bahkan sampai tiga tahap seperti yang terjadi pada pemilu tahun 2004 lalu. Tahapan pemilu tersebut juga membutuhkan tenggang waktu yang tidak pendek, tapi mencapai dua sampai tiga bulan. Pada pemilu tahun 2004 lalu misalnya. Pemilihan anggota legislatif dilaksanakan pada bulan april, sedangkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden baru dilaksanakan pada bulan Juli. Kemudian pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahap kedua dilaksanakan pada bulan september. Jadi jika dikalkulasikan, maka negeri ini butuh waktu hampir satu tahun untuk melaksanakan pemilu. Berbeda dengan sistem orde baru, yang hanya butuh waktu dalam jumlah bulan dan itupun tidak sampai lebih dari dua bulan. Jadi pemilu pada masa orde baru memang lebih efisien dibandingkan dengan pemilu pada masa sekarang.


Efektivitas
Pemilu pada masa ferormasi membutuhkan biaya yang cukup besar, mencapai triliunan rupiah. Itu belum termasuk biaya untuk melakukan pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten kota. Untuk pemilihan umum harus diadakan dua kali, yaitu pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden serta wakil presiden. Sementara pada masa orde baru pemilu hanya berlangsung satu kali. Jadi tidak membutuhkan biaya yang sebanyak pemilu sekarang. Belum lagi pemilihan kepala daerah. Jika pada masa orde baru, kepala daerah ditentukan oleh pemerintah pusat, jadi tidak membutuhkan biaya untuk melakukan proses pilkada seperti yang terjadi sekarang. Jadi jika kita telaah, memang pemilu di msa orde baru lebih irit penggunaan biayanya. Namun masyarakat tidak bebas memilih, karena yang terpilih pasti itu-itu saja. Sehingga hasil pemilihan kerap kali tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pemilu pada masa orde baru jauh lebih baik dibandingkan dengan pemilu pada masa sekarang (reformasi), jika dilihat dari segi sistem pelaksanaan. Namun ada juga dampak positifnya, yaitu masyarakat lebih bebas menentukan pilihannya yang sesuai dengan harapannya.




DAFTAR PUSTAKA
Chilcote, Ronald. 2007. Teori Perbandingan Politik. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu
http://imambenjol.blogspot.com/2007/05/pemilu-orde-baru.html

PEMILIHAN KEPALA DAERAH : SENTRALISTIK VS DESENTRALISASI

A. Pendahuluan
Perbandingan sistem politik seyogiyanya membandingkan satu isu dalam dua negara yang mempunyai sistem yang sama maupun dua rezim dalam satu negara. Banyak tokoh yang mencoba memberikan penjelasan mengenai perbandingan politik. Namun penulis tidak akan membahas semua pola yang diperkenalkan oleh beberapa tokoh tersebut. Penulis akan mencoba fokus pada skema perbandingan politik yang ditawarkan oleh Herbert J. Spiro (1962).

Skema yang ditawarka oleh Herbert J. Spiro sebenarnya berangkat dari formulasi awal perbandingan politik David Easton, yakni skema yang komprehensif. Spiro mendefinisikan sistem politik sebagai sebuah komunitas yang memproses berbagai isu. Isu tersebut kemudian akan ditangani melalui arus kebijakan.

Dalam melihat perbandingan politik, Spiro setidaknya melihat empat hal untuk ditelaah lebih jauh. Keempat hal tersebut diantaranya Stabilitas, Fleksibilitas, Efisiensi, dan Efektivitas. Ketika membandingkan suatu isu dalam dua negara yang berbeda atau dua rezim yang berbeda, Spiro menelaah keempat halk tersebut. Sistem yang manakah yang lebih stabil, lebih fleksibel, dan seterusnya. Tentunya semua itu dilihat dari berbagai aspek, baik itu secara prosedural, substantif, maupun secara fundamental.

Dalam paper ini penulis akan mencoba melihat suatu isu untuk kemudian dikatkan dengan skema sistem politik yang ditawarkan oleh Spiro. Adapun isu tersebut adalah satu isu politik yang berkaitan dengan pergantian kekuasaan, tepatnya ”Pemilihan Kepala Daerah”, tepatnya di Sulawesi Selatan. Penulis akan mencoba membandingkan pemilihan kepala daerah di Sulawesi Selatan dimasa sistem sentralistik dan masa desentralisasi. Tentunya penulis akan melihat keempat hal yang telah disebutkan diatas. Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas secara lebih rinci pada pembahasan berikut.

B. Pembahasan
Indonesia ketika diawal kemerdekaan menganut sistem sentralistik. Dalam sistem ini, semua hal diatur oleh pemerintah pusat. Baik itu masalah ekonomi, budaya, maupun masalah politik. Indonesia menganut sistem desentralisasi secara resmi pada tahun 2004, setelah Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPRD, dan DPD dipilih langsung oleh masyarakat.

Dalam paper ini akan membahas lebih jauh mengenai masalah politik. Masalah politik tersebut ialah pergantian kekuasaan di daerah atau disebut pergantian kepala daeerah, di tingkat provinsi. Penulis akan melihat perbandingan politik antar pergantian gubernur dimasa sentralistik dan dimasa desentralisasi da daerah Sulawesi Selatan

Pada masa ketika Indonesia menganut sistem sentralistik, gbernur dan wakil gubernur dipilih dan ditentukan oleh pemerintah pusat. Anggota DPRD di provinsi akan memberikan calon gubernur dan wakil gubernur kepada pemerintah pusat. Kemudian pemerintah pusat yang akan menentukan. Namun pada umumnya, calon yang diberikan hany satu pasang saja, jadi sudah pasti itu yang akan dipilih oleh pemerintah pusat (dalan hal ini Presiden). Terkadang juga anggota DPRD tidak memberikan calon gubernur dan wakil gubernur kepada pemerintah pusat. Tetapi sudah ditentukan langsung oleh pemerintah pusat tanpa menunggu persetujuan dari DPRD.

Setelah Indonesia menganut sistem desentralisasi, semuanya menjadi berubah. Bukan hanya Presiden dan Wakil Presiden serta anggota Legislatif saja yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Tetapi kepala daerah juga dipilih langsung oleh masyarakat, baik itu ditingkat provinsi maupun ditingkat kabupaten/kota. Perbedaan kedua sistem tersebutlah yang akan dibandingkan penulis dan dikaitkan dengan skema komprehensif yang ditawarkan oleh Herbert J. Spiro.

1. Stabilitas
Menelaah masalah stabilitas, maka kita akan mencoba melihat proses pemilihan dan kerjanya setelah terpilih. Pada masa sistem sentralistik, pemerintah yang menetukan. Tetapi pemerintah tidaklah serta merta memilih begitu saja, melainkan melihat berbagai aspek, khususnya masalah sosial budaya.
Kembali kita akan melihat kasus Sulawesi Selatan. Pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2003-2008, masih ditentukan oleh pemerintah pusat. Isu yang berkembang pada saat itu adlah isu konflik elite antar suku/wilayah atau berkaitan dengan masalah etnosentris. Ketika itu kelompok elite dari suku makassar cenderung memperjuangkan calon yang berasal dari suku makassar. Nama-nama yang muncul ketika itu diantaranya Muhammad Ryaas Rasyid, H. Syahrul Yasin Limpo, Rafiuddin Hamarung, Ilham Arief Sirajuddin, Andi Tjonneng Mallombasang, Baharuddin Baso Tika, Azikin Sultan, dan H. Akib Pata.

Sementara kelompok elite dari suku bugis juga cenderung memperjuangkan calon yang berasal dari suku bugis. Nama-nama yang muncul diantaranya H. M. Amin Syam, H. A. M. Nurdin Halid, H. M. Aksa Mahmud, Marwah daud Ibrahim, H. Malik B. Masry, Andi Mappaganty, H. Muhammad Andi Ghalib, Andi Djalal Bachtiar, Agus Arifin Nu’mang, H. Anwar Arifin, H. M. Abdul Malik Hambali, H. Mansyur Ramly, Radi A. Gany, Andi Salipolo Palaloi, Tajuddin Noer, dan Iskandar Mandji.

Melihat hal tersebut, anggota DPRD dan pemerintah pusat mencari jalan lain agar tidak terjadi konflik antar suku/wilayah seperti yang dikhawatirkan. Anggota DPRD dan pemerintah pusat akhirnya memutuskan dan memilih pasangan H. M. Amin Syam dan H. Syahrul yasin Limpo sebagai Gubernur dan Wakil GUBERNUR Sulawesi Selatan periode 2003-2008. Dimana pasangan tersebut adalah perpaduan antara suku bugis yang berasal dari daerah utara ( H. M. Amin Syam ) dan suku makassar dari daerah selatan ( H. Syahrul Yasin Limpo ).

Dalam sistem desentralisasi hal seperti itu sulit untuk dilakukan. Sebab calon yang akan maju ditentukan oleh KPU berdasarkan persyaratan yang telah ditentukan, tentunya tidak ada persyaratan harus mewakili kedua suku (Bugis dan Makassar). Pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur (periode 2008-2013) November 2008 lalu hampir saja terjadi konflik antar suku. Hal tersebut oleh karena pilkada dimenangkan oleh H. Syahrul Yasin Limpo yang berasal dari suku Makassar dan mengalahkan H. M. Amin Syam yang berasal dari suku Bugis.

Meskipun konflik antar suku akhirnya dapat diredam, namun pilkada tersebut masihlah meninggalkan masalah. Setelah memakan waktu yang cukup lama dalam proses pengadilan, yang akhirnya sampai kepada Mahkamah Agung, Pihak Amin syam akhirnya juga lebih memilih menjadi oposisi daripada mendukung Syahrul Yasin Limpo. Hal tersebut dapat menghambat proses pembangunan daerah Sulawesi Selatan kedepannya.

2. Fleksibilitas
Ditinjau dari segi fleksibilitas, penulis melihat bahwa sistem sentralistik juga lebih baik dibanding sistem desentralisasi. Pihak yang kalah dan para pendukungnya dalam pilkada biasa cenderung sulit menerima kekalahan, sehingga tidak mau mendekatkan diri terhadap pihak yang menang untuk bekerjasama. Hal tersebut menyebabkan pihak yang terpilih sulit melakukan adaptasi dengan mereka yang kalah (khususnya yang duduk di kursi pemerintahan). Ketika adaptasi itu sulit dilakukan, maka proses pembanguna juga akan terhambat.

3. Efisiensi
Efisiensi lebih cenderung melihat pada waktu yang digunakan. Artinya dalam hal ini kita akan melihat perbandingan waktu yang dibutuhkan dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur antara sistem sentralistik dengan sistem desentralisasi. Dalam sistem sentralistik, gubernur dan wakil gubernur dicalonkan oleh anggota DPRD kepada pemerintah pusat. Pemerintah pusat kemudian menentukan atau bahkan sudah ditentukan langsung oleh pemerintah pusat. Jikalaupun belum ditentukan, berarti harus menunggu calon dari anggota DPRD. Ketika calon gubernur dan wakil gubernur sudah diberikan oleh anggota DPRD kepada pemerintah pusat, maka pemerintah pusat akan langsung memilih atau menentukan. Dalam hitungan hari gubernur dan wakil gubernur yang baru sudah diketahui dan tanpa menunggu waktu yang lama akan segera dilantik oleh Presiden atau melalui Mentri Dalam Negri.

Dalam sistem desentralisasi, gubernur dan wakil gubernur dipilih langsung oleh masyarakat. Setiap aktor politik yang ingin mengajukan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur harus mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU). Kemudian KPU melakukan seleksi terhadap semua bakal calon, baru kemudian menentukan calon yang akan ikut dalam pemilihan atau biasa disebut pilkada. Proses tersebut membutuhkan waktu paling sedikit dua minggu. Setelah itu barulah masuk masa kampanye untuk semua calon yang juga membutuhkan waktu sekitar dua minggu. Setelah selesai melakukan pemilihan, maka KPU akan mengumumkan pemenang pilkada tersebut. Namun tidak serta merta langsung bisa dilantik. Karena harus menunggu dulu, bilamana ada pihak calon yang keberatan atas keputusan KPU tersebut. Sebab semua calon yang merasa keberatan, dapat melapor ke pengadilan atau ke Mahkamah Agung, seperti yang dilakukan oleh pasangan Amin Syam dan Mansyur Ramly pada pilkada 2008 lalu. Proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan sampai berbulan-bulan. Belum lagi jika masalahnya berlarut-larut, seperti kasus Maluku utara.

Melihat pemaparan diatas, maka kita bisa melihat bahwa ternyata pemilihan gubernur dan wakil gubernur dalam sistem sentralistik jauh lebih efisien dibandingkan dengan sistem desentralisasi. Jika sistem sentralistik hanya memakan waktu sekitar satu minggu, maka dalam sistem desentralisasi membutuhkan waktu berbulan-bulan.

4. Efektivitas
Berbicara mengenai efektivitas, maka akan cenderung melihat penggunaan materi. Yaitu biaya yang dibutuhkan dalam proses pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur) tersebut.

Dalam sistem sentralistik, seperti yang sudah dipaparkan diatas, bahwa gubernur dan wakil gubernur ditentukan oleh pemerintah pusat. Jadi jika kita menelaah, maka biaya yang dibutuhkan sangatlah sedikit. Adapun biaya yang dibutuhkan hanyalah untuk membiayai anggota DPRD yang pergi menghadap pemerintah, ketika mengajukan calon gubernur dan wakil gubernur.

Sementara dalam sistem desentralisasi, gubernur dan wakil gubernur dipilih langsung oleh masyarakat melalui proses pemilihan. Pelaksanaan pilkada yang dilakukan oleh KPU daerah konon katanya menelan biaya sampai Milyaran rupiah (surat suara, gaji KPU, Gaji Panwaslu, gaji Panitia TPS, biaya Sosialisasi, dan lain-lain), tentunya biaya yang cukup mahal. Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang maju sebagai calon, juga tidaklah sedikit. Hal tersebut pulalah yang menjadi penyebab merajalelanya praktik Korupsi. Sebab mereka yang menang akan berupaya untuk mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan saat kampanye.

Dengan melihat penjelasan diatas, tentunya kita sudah dapat membandingkan sistem mana yang lebih efektif. Ternyat sistem sentralistik jauh lebih efektif daripada sistem desentralisasi.

C. Kesimpulan
Dengan melihat penjelasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur di Sulawesi Selatan lebih baik menggunakan sistem sentralistik daripada sistem desentralisasi. Baik itu dari segi Stabilitas, Fleksibilitas, Efisiensi, maupun dari segi Efektivitasnya.


DAFTAR PUSTAKA

Chilcote, Ronald. 2007. Teori Perbandingan Politik. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta
Nas, Jayadi. 2007. Konflik Elite di Sulawesi Selatan. Yayasan Massaile bekerjasama dengan Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas): Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/PilkadaSulsel
http://id.wikisource.org/wiki/Matahari_Pilkada_Sulsel!